Kira - kira empat ratus lima puluh tahun silam, sebelum nama Ponorogo dikenal luas, telah berdiri Kademangan Surukubeng yang terletak di Desa Kutu Kecamatan Jetis. Pada waktu itu termasuk wilayah Kerajaan Majapahit di bawah kekuasaan Prabu Brawijaya V. Kademangan Surukubeng dipimpin oleh Ki Gede Ketut Suryo Ngalam yang beragama Budha, dan lebih dikenal dengan sebutan Ki Ageng Kutu.
Petilasan Surukubeng di Desa Kutu Kecamatan Jetis Ponorogo |
Ki Ageng Kutu memliki pusaka berujud keris yang sangat ampuh lagi indah bentuknya. Pamor kewibawaannya pusaka Ki Ageng Kutu tela dikenal kalangan luas. Jangankan ditikamkan, baru dihunus dari sarungnya saja lawan sudah terhentak lemas tulang-tulangnya. Pandangan lawan menjadi gelap dan tidak mengetahui apa yang terjadi di sekitarnya. Keris pusaka Ki Ageng Kutu ada dua buah, Kyai Jabardas dan Kyai Condong Rawe atau Kyai Rawe Puspito. Kyai Rawe Puspito ditunggui oleh dua jin, laki-laki dan perempuan. Jin laki-laki bernama Kluntung Waluh, dan jin perempuan bernama Klenting Mungil. Jika dikehendaki untuk melaksankan tugas, kedua jin tersebut dapat keluar dari warangka Kyai Rawe Puspito.
Ki Ageng Kutu menjadi guru yang amat sakti. Tiap malam diajarkannya ilmu untuk rakyatnya. Kaum muda diajarinya dengan berbagai mantra ilmu kanuragan, dengan keinginan agar mereka menjadi pemuda yang sehat, kebal terhadap senjata, dan mampu membela diri. Penggemblengan terhadap pemuda ini dilakukan di bawah siraman bulan purnama, Ki Ageng Kutu melatih murid-muridnya di halaman sampai larut malam. Yang tua dikumpulkannya dengan yang tua, yang muda dikelompokkannya dengan yang muda. Yang tua memakai celana panjang kolor ( ikat pinggang) satu depa panjangnya, baju model potong cina lengan lebar yang kesemuannya berwarna hitam. Adapun celana dikombinasi warna merah dan disulam benang warna warni. Yang muda memakai celana dingkikan (celana setinggi betis), diberi sobekan sampai lutut, dan berbaju penadon, (tidak memakai kerah) ikat kepala kain brabon cina warna merah.
Tahap latihan melalui tiga tingkat. Tingkat satu: gulat, banting membanting, bergumul, tinju dan garesan (adu tulang kaki); tingkat dua: adu pukul, lempar melempar memakai batu yang besar; tingkat tiga: saling melukai memakai senjata tajam membabat memakai pedang dan saling menikam. Jikalau dalam latihan ini ada yang luka, sampai mengeluarkan darah, maka Ki Demang cepat-cepat mengobati dengan cara dijilat sekali langsung sembuh. Yang semarak lagi dalam latihan itu diiringi dengan bunyi-bunyian seperti : terompet, genderang, ketipung, seruling, ketuk dan kempul sehingga bisa menambah semangat dalam berlatih.
Ki Ageng Kutu sangat besar karismanya, dan tersohor. Sangat disegani oleh lawan yang dihormati rakyatnya bahkan pemimpin di lain desa setiap bulan berdatangan untuk memberi upeti sebagai tanda kesetiaan kepada Ki Demang Kutu.
Ki Ageng Kutu mempunyai tiga anak yaitu : yang sulung perempuan, Niken Gandini. Masih muda beliau sangat terkenal kecantikanya yang tiada banding, kedua adiknya laki-laki bernama Suryodono dab Suryodoko. Kedua lelaki remaja inilah yang selalu diidamkan Ki Ageng Kutu agar di kemudian hari dapat menjadi demang yang tersohor. Bisa Mikul duwur mendem jero ( menjunjung nama baik) orang tuanya.
Kelak setelah Ki Demang wafat, Niken Gandini menjadi istri Bathoro Kathong. Suryodono berubah nama Suromenggolo, menjadi ipelan (Pengawal pribadi Bathoro Katong). Adapun Suryodoko beralih nama menjadi Surahandaka yang akhirnya menjadi Demang di Surukubeng menggantikan ayahnya.
BABAD PONOROGO
JILID 1
PURWOWIJOYO
No comments:
Post a Comment